Belakangan ini sempat viral video di
salah satu platform media sosial yang menayangkan adanya seorang wanita yang
tengah melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam sebuah acara, kemudian ada
beberapa orang yang menyawernya.
Beragam komentar bersautan silih berganti,
tak sedikit yang mencela perbuatan tersebut bahkan ada yang sampai
menganggapnya sebagai penistaan agama. Bagaimana hukum Qori’ah disawer?
Oleh karenanya perlu adanya edukasi
kepada masyarakat luas terhadap etika-etika saat tengah membaca atau mendengarkan
lantunan ayat suci Al-Quran.
Yang pertama harus diketahui etika
yang perlu diperhatikan ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an salah satunya
adalah sebagaimana dalam firman-Nya:
إِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila
dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat“. QS. Al-A’rof ayat 204
Kemudian dilanjutkan beberapa
keterangan yang memaknai ayat tersebut dengan adanya perintah mendengarkan
dengan seksama, menghayati penuh arti, serta meninggalkan suatu yang mampu
memecah fokus kita pada bacaan Al-Qur’an tersebut.
Sebagaimana dijelaskan dalam
At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an
فصل ومما يعتنى به ويتأكد الأمر به احترام القرآن من أمور قد يتساهل فيها
بعض الغافلين القارئين مجتمعين فمن ذلك اجتناب الضحك واللغط والحديث في خلال
القراءة إلا كلاما يضطر إليه وليمتثل قول الله تعالى وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له
وأنصتوا لعلكم ترحمون.
Artinya: “Pasal menjelaskan
sebagian dari hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk memuliakan Al-Qur’an
namun banyak disepelekan oleh orang-orang yang lalai dalam membaca Al-Qur’an
secara berjamaah. Di antaranya adalah untuk menghindari tertawa serta
ramai-ramai dan mengobrol di sela-sela bacaan kecuali dalam kondisi mendesak. Hal
ini juga dalam rangka mematuhi firman Allah berupa “Dan apabila dibacakan
Al-Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu mendapat rahmat“.
At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an,
Hal : 92-93
Kemudian terkait tindakan penyaweran
yang dilakukan pada saat seseorang tengah membacakan ayat suci Al-Quran juga
tidak terlepas dari perkhilafan diperbolehkannya mengambil
keuntungan duniawi dari bacaan Al-Qur’an.
Sebagian pihak ulama’ dengan tegas
melarang adanya ujaroh / bayaran dari bacaan atau mengajarkan
Al-Qur’an. Meski demikian sebagian pihak ulama’ justru menganggap bahwa
sebaik-baiknya amal yang perlu diapresiasi dengan bayaran tinggi adalah ayat
suci Al-Quran.
Mengacu pada pendapat yang
memperbolehkan bukan berarti pemberian uang atau bayaran kepada pembaca
Al-Qur’an dapat dilakukan secara bebas tanpa etika. Karena dalam literatur
salaf banyak sekali praktek pemberian yang justru dinilai kurang baik apabila
cara pemberiannya dinilai kurang tepat. Seperti halnya apabila dalam cara
pemberiannya mampu merendahkan orang lain serta menimbulkan dampak negatif maka
hukumnya lebih baik dihindari (tarkuhu aula).
Apalagi jika kita tinjau dari aspek
penistaan dan pelecehan terhadap ayat suci Al-Quran. Dalam hal ini segala
bentuk yang dinilai merendahkan Al-Qur’an maka jelas merupakan suatu yang
dilarang agama dan bahkan dapat berakibat kufur bila sampai ada tujuan melecehkan
Al-Qur’an.
ومنها الاستهانة بما عظم الله والتصغير لما عظم الله من طاعة أو معصية أو
قرآن أو علم أو جنة أو نار فكل ذلك من المعاصي الموبقات المهلكات بل بعضها إذا قصد
به الاستهزاء يجر إلى الكفر، والعياذ بالله من ذلك
Artinya, “Di antara maksiat
hati adalah menganggap enteng atau biasa terhadap sesuatu yang diagungkan oleh
Allah, dan menganggap kecil pada hal-hal yang diagungkan oleh Allah, seperti
ketaatan, maksiat, Al-Qur’an, ilmu syariat, surga atau neraka. Semua hal itu
termasuk maksiat yang membinasakan dan menghancurkan. Bahkan sebagiannya ketika
dilakukan dengan tujuan menertawakan atau menghinanya maka bisa menyeret
pelakunya kepada kekufuran. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari semua
itu.” (Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil As-Syafi’i, Is’adur Rafiq
wa Bughyatut Tashdiq, [Al-Haramain], juz II, halaman 56).
Meskipun dalam permasalahan ini
standar baku tindak penistaan serta pelecehan tidaklah diatur secara paten oleh
syariat, sehingga oleh karenanya standarisasi bentuk pelecehan akan
dikembalikan pada urf atau adat istiadat setempat. Suatu yang
dianggap wajar maka masih dapat ditolerir, sebaliknya bila dianggap telah
melewati batas wajar maka jelas dilarang oleh syariat.
Hal lain yang patutnya diperhatikan
adalah interaksi antar lawan jenis. Dalam Islam interaksi antara ajnabi (lawan
jenis) sangatlah dibatasi dengan ketat. Sehingga tanpa memenuhi persyaratan
yang telah disebutkan dalam syari’at Islam berinteraksi dengan lawan jenis akan
menjadi salah satu tindak mungkar yang tentunya dilarang keras oleh agama.
Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam bissowab.